JOMO: Digital Minimalist


Buang waktu untuk hal yang ngga bisa kita kontrol sama halnya dengan seorang jomblo yang ngomong ke supir taxi, "Anterin ke jodoh saya ya, Pak!". Lalu taxi nya berjalan sampai akhir zaman.

Kurang lebih kayak gitu asumsi saya tentang sosial media. Mari ngulik perjalanan saya untuk berusaha jadi seorang digital minimalist.

Awal tahun 2020 lalu saya tutup akun Instagram permanen. Tapi tahun depannya buat lagi akun anonim karena merasa butuh beberapa informasi yang cuma bisa diakses di sana. Saya juga sempat vakum Facebook untuk waktu yang lama. Plin-plan banget, kan?

Dari semua fitur sosial media yang addictive, story orang-orang paling ngaruh ke kehidupan saya sehari-hari. Tau FOMO ngga? Fear of Missing Out. Story-story itu bikin saya kepo terus sama kegiatan orang-orang, seakan harus banget tau si A lagi di mana, si B lagi sama siapa, begitu terus tiap hari, jadinya buang-buang waktu. Pas masih baru punya Instagram (tahun 2017-an awal) ngga ada tuh fitur story, masih cocok lah untuk sekedar share memories. Saya ngga tau kapan fitur story mulai ada tapi yang jelas Facebook juga jadi ikut-ikutan. Ngga ada bedanya lagi. Mungkin karena satu perusahaan kali ya?

Tiap hari kerjaan saya scrolling timeline mulu and I get nothing kecuali informasi bahwa teman sosmed ku lagi makan somay di warkop baru di pinggir empang. Atau yang paling sering tuh pamer lagi makan di tempat mahal, Chinese resto atau Jejepangan. Biasanya kalau cewek-cewek sosialita suka bikin boomerang nih, tangan kiri ngevideo, satunya megang chopstick. Tangannya maju mundur udah kayak tari piring.

Saya ngga memungkiri kalau dulu saya juga upload story-story alay ke close friends dan kolega saya. Tapi makin ke sini makin "Yaudahlah, post jokes receh aja minimal ada yang ketawa".

Setelah perjalanan panjang saya bersosmed yang ngga ada ujungnya, saya mulai mikir sosial media ini mau bawa saya ke mana sih? Manfaatnya apa ke saya?

Makin tua saya makin menyadari bahwa I should stop posting what I do in real life. Tapi as a human, saya juga butuh mengekpresikan isi kepala. Saya butuh sharing soal problem yang di luar kemampuan, butuh saran dari orang, dan butuh dianggap ada. That's totally normal I think. That's why saya masih berbagi cerita dengan kamu di blog ini dan masih update isi kepala di Twitter. Mengurangi aktivitas dan menarik diri dari sosial media bukan berarti menutup diri lho ya.

Manusia sebetulnya tau apa yang bisa menyembuhkan dirinya sendiri. Kuncinya cuma apa kita bisa memberi diri kita waktu untuk secara alami ngasih tau kayak "eh, kayaknya kamu butuh ini deh". Cuma kadang suara-suara external dan sumbang dari lingkungan bikin kepala kita jadi penuh dan bingung dengan apa yang sebenarnya kita butuhkan.

Ketika 'kata' terlalu banyak imbuhan, kembalikan dia ke bentuk dasar. Sama kayak kondisi diri saya sekarang. Saya mencari diri saya yang sebenar-benarnya.

Stop interacting so much in social media.

Terlalu banyak menghabiskan waktu di sosial media itu ibarat masukin sampah ke kepala. Fikiran kita jadi ruwet sama informasi-informasi yang ngga esensial, jatuhnya kepikiran, ngebatin. Hal-hal kayak gini bikin saya sulit fokus, fikiran kemana-mana. Buntutnya, tiap baca buku harus ngulang dua kali halaman sebelumnya, mau minum malah ke WC, dan sering ngga sadar terobos lampu merah.

Jadi, saya mulai mikir sosial media mana yang paling "saya". I'm never picture oriented, ngga peduli muka ku bagus apa ngga di foto. Concern ku cuma isi kepala aja. Jadi saya milih Twitter sebagai platform untuk "berak". Maksudnya ngasih pandangan ke orang, nyari hobby baru, ngeluh kenapa seharian mati listrik, marah karena anjing tetangga nyolong sendal cuma sebelah, atau sekedar berbagi jokes biar hidup ada warnanya. Saya suka sekali mengekspresikan isi kepala lewat tulisan, saya senang berbagi pemikiran. Kayak terapi buat diri sendiri.

Bayangin aja deh, bangun pagi terus baca berita headline nya clickbait. Pas dibuka isinya banyakan drama dan opini ngga penting yang ditambah-tambahin. Cuma biar kliknya banyak. Sampah, kan?

What kind of society do we want to have? We want a thinking society, not an angry society. Profit penting, klik banyak biar income juga besar. Yang jadi problem adalah when you destroy the people/users mind, and the way they make decisions. That's criminal. Hasilnya kita jadi society yang uring-uringan, gampang kena provokasi.

Teknologi itu baik, tapi kita harus tau mana yang benar-benar esensial buat diri kita.

Di Facebook, saya stop follow orang-orang yang dirasa ngga perlu. Hasilnya, yang muncul di timeline saya cuma postingan dari fanpages yang saya like aja, ngga ada postingan dan story teman sama sekali. Saya baru tau ada fitur ini beberapa minggu belakangan. Saya jadi bisa scrolling timeline dengan tenang, baca apa yang saya suka dan ngga perlu khawatir konsentrasinya jadi buyar gegara ada teman yang share pembesar payudara.

Saya juga sempat install tiktok 3 minggu lalu, for the first time in my life i made a video through that platform. Tapi videonya di upload di Twitter karena Tiktok ini cuma dipakai untuk ngedit video. Lalu aplikasinya dihapus kembali karena ngga dipake lagi.

Life is hard enough. I dont need that likes, loves, comment or etc, hal-hal yang sebetulnya ngga penting. Life in general sudah full of struggle.

Saya jadi strict banget sama gadget semenjak usia masuk 20-an. Awal tahun ini, saya coba meminimalisir penggunaan aplikasi di smartphone. Setiap harinya cuma boleh maksimal buka sosial media 30 menit, kecuali Twitter yang 2 jam. Saya pakai StayFree buat reminder, jadi kalau limitnya udah nyampe aplikasinya bakal diblok otomatis. Jadi mau ngga mau harus cari kesibukan lain selain scrolling timeline. Awalnya berat, saya kadang masih nyolong-nyolong waktu semenit dua menit buat buka aplikasi yang diblok tadi, tapi lama-lama jadi "ok, let's find another activity, let's do something else, read a new book maybe?", begitu terus setiap hari sampai jadi kebiasaan baru.

Setelah mencoba membatasi aktivitas di sosial media, banyak yang mulai berubah. Ternyata di luar sana banyak hal positif yang luput dan ngga pernah saya lirik lagi sama sekali. Baca buku baru, belajar lagi main rubik, keluar rumah liat tanaman, ikut ibu main bulutangkis di club nya, duduk di teras sambil dengar suara ayam betina lagi rebutan jantan, liat orang lalu-lalang di jalan. Banyak. Hal-hal kayak gitu yang bikin saya balik ke diri saya waktu kecil yang ngga kenal smartphone. Hidup indah sekali waktu itu.

Yang paling kerasa itu pas malam, dulu-dulu sering banget scrolling sampai jam 2 pagi. Sekarang jadi lebih cepat tidur karena bingung mau ngapain pas limit aplikasinya udah mentok.

Sudah dua bulan ini saya matiin semua notifikasi di hp, ngga ada suara sama sekali kecuali alarm. Sampai pada suatu hari, saya buka WhatsApp dan ternyata pembimbing saya nelfon berkali-kali. Saya longgarkan kembali notifikasi nya jadi dua, WhatsApp dan Twitter. Keterusan sampai sekarang.

Protektif terhadap atensi benar-benar penting, and It's good for us, biar perhatian kita ngga ditarik kemana-mana. Kita punya kendali penuh terhadap apa yang membuat kita bahagia.

Heloo, JOMO. Joy of Missing Out.

***

Selamat tanggal 12.

Comments