Travel Jauh Sendirian


Hari ini, setahun yang lalu. Saya duduk di pojokan sebuah café trendy ditemani kopi panas dan live music yang nadanya ngga sopan masuk telinga. Malam itu saya sibuk scrolling traveloka, mencari tiket paling murah dengan bagasi paling maksimal dan available untuk schedule saya lusa nya.

Seperti café pada hakikatnya, seluas mata memandang isinya kalo ngga orang sibuk meeting sama clientnya, pasti sejoli muda bucin yang tatap-tatapan sama pacarnya. Duduk di sana sejam bikin dosa saya ngalir terus, ngatain mulu dalam hati.

Karena gabut duduk dan tiket travel sudah dibook, saya nelfon teman biar ngga ngenest sendirian di pojokan. Pas temannya datang, kupaksa dia minum kopi. Pas mau pulang, dia baru bilang kalau sebenarnya lagi puasa buat paskah. Demi sebuah kopi dia bucok. Saya jadi tau kalau puasanya orang katolik itu dimulai jam 12 malam.

Saya belum pernah keluar Sulsel sebelumnya, main paling jauh dari rumah mentok-mentok cuma ke Pinrang dan Barru, separuh umurku dihabiskan di kamar. Karena hari itu harus travel jauh sendirian, isi kepala jadi kemana-mana. Hal yang bikin uring-uringan adalah gimana caranya naik pesawat, gimana kalo tiba-tiba saya ngga balik-balik lagi, sampe kaktus sukulen di kamar nasibnya gimana.

Karena pesawatnya berangkat jam 6 pagi, malam berakhir dengan saya ada di bandara pagi-pagi buta. Untuk pertama kalinya selama kuliah, saya bangun pagi jam 3 subuh, sebuah hal yang fana.

Sambil nunggu ngasoy jam 4 subuh di bandara, saya sempat nulis wasiat di note hp. Isinya gini:

"Hmm, cuma mau bilang, kalau-kalau saya tidak kembali, ini jadi update-an terakhir saya di sosmed. Semoga, hingga suatu saat saya ditelan bumi, kalimat-kalimat dan kisah saya masih tertinggal, setidaknya sampai Mark Zuckerberg bangkrut. Tapi, di manapun saya, tetap saja saya masih orang yang benci bangun pagi".

Dan berakhir saya ngga upload apa-apa hari itu.

Sampai di kota tujuan, kalimat pertama yang keluar adalah "asuwww, panasnyaaa". Jaringan provider smartfriend juga ngga ada. Kota Palu ngga ramah ke mahasiswa kere kayak saya. Jadilah saya terlunta-lunta di bandara ngantri isi e-HAC manual.

Demi sebuah gelar, saya harus survey site berminggu-minggu. Puluhan tidur pagi dikorbankan. Bahkan sampai harus uji nyali di lokasi likuifaksi, berlindung di antara semak-semak dan runtuhan bangunan, untung titik ukurnya di atas WC rumah orang, jadi masih bisa becanda sama yang lain. Kalau lagi apes, kadang dapat titik di kaki gunung yang ngga ada pohonnya sama sekali, panasnya bikin kepala mau lepas, pernah juga di samping pembuangan sampah. Kalau lagi sial, bisa ngukur sambil ngangon kambing karena entah kenapa di Palu itu kambingnya di lepas di jalan, persis kayak di Antang kalo Makassar.

Surveynya selalu dari jam 8 pagi sampai jam 5, sering juga sampai isya. Jadi kadang suka uji nyali sendiri kalau pulang malam harus milih lewat Perumnas Balaroa yang bekas likuifaksi, atau lewat jalan lain yang isinya perkuburan massal seluas mata memandang. Cuma itu doang dua jalannya. Daripada milih yang kedua, kayaknya lewat di bawah senja Perumnas lebih baik, setidaknya ngga harus baca nama orang di batu nisan, males kalo diajak kenalan.

Hari pertama puasa masih survey. Mau minum ngga bisa, mau makan apalagi. Mau mencela, kan puasa. Untungnya ngeluh ngga harus bayar, bisa sepuasnya.

Hampir 3 bulan skripsian di sana, banyak hal baru yang ngga pernah terpikirkan. Panas, indomaret ngga ada, bahasa yang naudzubillah saya ngga paham, ramadhan paling jauh, dan banyak kawan baru. Saya jadi belajar sholat tarawih 23 rakaat, nahan pipis setengah mati karena imamnya menye-menye dan doa di akhir witirnya bikin posisi tangan saya berubah, tadinya diangkat paling serius, perlahan dipangku karena pegel.

Pas pulang, di pesawat ada ibu-ibu bucin di samping saya yang dari awal take off sampai pesawat udah ngga napak tanah masih aja video call sama suaminya.

Terus juga di minggu-minggu survey sempat cedera, tangan saya kejepit meja setrika. Hampir semingguan saya mandi kayak lagi mabok di club malam, harus angkat tangan. Solat kudu tayamum.

***

Udah, itu doang. Kapan-kapan lanjut lagi ceritanya.

Comments